Google search: peran abdul haris nasution, perjuangan abdul haris
nasution, pertempuran yang dipimpin oleh abdul haris nasution, kapankah
jenderal besar abdul haris nasution melakukan pertempuran pertamanya,
ringkasan perjuangan abdul haris nasution, peran abdul haris nasution
dalam mempertahankan integrasi bangsa, abdul haris panpel, kesaksian
jenderal nasution
Jenderal
Besar TNI (Purn.) Dr. (H.C.) Abdul Haris Nasution adalah seorang
jenderal berpangkat tinggi dan politikus Indonesia. Ia bertugas di
militer selama Revolusi Nasional Indonesia dan ia tetap di militer
selama gejolak berikutnya dari demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Terpimpin. Setelah jatuhnya Presiden Soekarno dari kekuasaan, ia menjadi
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) di bawah presiden
Soeharto. Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Haris Nasution adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi
sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban
adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre
Tendean.
Abdul Haris Nasution lahir di Kotanopan, Kabupaten
Mandailing Natal, Sumatra Utara tanggal 3 Desember 1918 dari keluarga
Batak Muslim. Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam
keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil,
karet dan kopi. Ayahnya, yang religius dan anggota organisasi Sarekat
Islam, ingin sang anak belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin
dia belajar kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah
pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar di Sekolah
Raja Bukittinggi (kini SMA Negeri 2 Bukittinggi). Ia menempuh studi
selama tiga tahun dan tinggal di asrama.
Pada tahun 1935 Nasution
pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi, di sana dia tinggal selama
tiga tahun. Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat
minatnya dalam politik tumbuh. Dia diam-diam membeli buku yang ditulis
oleh Soekarno dan membacanya dengan teman-temannya. Setelah lulus pada
tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatra dan mengajar di Bengkulu, dia
tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia kadang-kadang berbicara
dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato. Setahun kemudian Nasution
pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana dia melanjutkan
mengajar, tetapi dia menjadi lebih dan lebih tertarik pada politik dan
militer.
Pada tahun 1940, Jerman Nazi menduduki Belanda dan
pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang
menerima orang Indonesia. Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah
satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan
beberapa orang Indonesia lainnya, dia dikirim ke Akademi Militer Bandung
untuk pelatihan. Pada bulan September 1940 dia dipromosikan menjadi
kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dia kemudian menjadi seorang
perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).[9] Pada tahun
1942 Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia. Pada saat itu, Nasution di
Surabaya, dia ditempatkan di sana untuk mempertahankan pelabuhan.
Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi,
karena dia takut ditangkap oleh Jepang. Namun, dia kemudian membantu
milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan,
tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.
Karier militer
Abdul
Haris Nasution adalah seorang tokoh militer yang sangat dikenal sebagai
ahli perang gerilya. Pak Nas demikian sebutannya dikenal juga sebagai
penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia
hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep
dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer yang sangat represif dan
eksesif.
Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai
peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam
bukunya yang fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain
diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib
akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer
dunia, West Point, Amerika Serikat.
Tahun 1940, ketika Belanda
membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut
mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942,
ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para
pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat.
Pada Maret
1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia
dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada
Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah
Jendral Soedirman). Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia
ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di
penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan
Darat.
Akibat pertentangan internal di dalam Angkatan Darat maka
ia menggalang kekuatan dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan
peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno
mencopotnya dari jabatan KASAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng.
Setelah islah akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya
sebagai KASAD. Tidak hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat
menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.
Gelar
Pada
5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi
pangkat Jendral Besar bintang lima. Nasution tutup usia di RS Gatot
Soebroto pada 6 September 2000 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Abdul Harris Nasution dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 6
November 2002 dengan dikeluarkannya Keppres No. 73/TK/2002 oleh
Pemerintah Indonesia.
Peristiwa G30S
Pada
pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S)
mendatangi rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang
sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution terbangun karena
suara tembakan dan ribut-ribut dan segera berlari ke bagian depan rumah.
Ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang mengira dirinya sebagai Nasution
karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil melarikan
diri dengan melompati pagar. Tendean lalu di bawa ke sebuah rumah di
daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak
mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira
lainnya.
Peristiwa 17 Oktober
Peristiwa
17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (dijabat A.H. Nasution)
dan tujuh panglima daerah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara
(DPRS) dibubarkan. Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah
mengarahkan moncong meriam ke Istana. Dalihnya melindungi Presiden
Soekarno dari demonstrasi mahasiswa.
Pemicunya adalah pemilu yang
tertunda-tunda yang dianggap hanyalah taktik DPRS (yang didukung Bung
Karno) untuk mempertahankan keadaan yang makin parah. Konflik intern
militer dan partai-partai menajam, korupsi meluas, dan keadaan keamanan
memburuk.
Keluarga dan akhir hayat
Abdul
Haris Nasution menikah dengan Johanna Sunarti pada 30 Mei 1947 di
Ciwidey, Bandung, bersamanya dia memiliki dua anak perempuan, yakni
Hendrianti Saharah Nasution dan Ade Irma Suryani Nasution. Ade Irma
tewas dalam peristiwa G30S. Istrinya meninggal pada tahun 2010 dalam
usia 87. Nasution sendiri meninggal pada 6 September 2000 di Jakarta
setelah menderita stroke dan kemudian koma. Dia dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.