K.H. Abdul Halim |
K.H. Abdul Halim, atau orang mengenalnya dengan nama K.H. Abdul Halim
Majalengka adalah seorang Ulama, tokoh organisasi Islam, dan tokoh
pergerakan nasional. Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Beliau
bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.
Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika
Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di
Jakarta berdasarkan SK Presiden no /TK/2008 (6 November 2008).
Biografi
Abdul Halim lahir di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka
pada 4 Syawal 1304 H atau 26 Juni 1887 M dengan nama Otong Syatori. Namun setelah
menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Abdul Halim. Ayahnya
bernama KH. Muhammad Iskandar, pengasuh Pesantren dan penghulu Kewedanan
Jatiwangi, dan ibunya Hajjah Siti Mutmainah binti Imam Safari. Abdul
Halim adalah anak terakhir dari delapan bersaudara.
Sebagai anak
yang dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim telah
memperoleh pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari
masyarakat sekitar. Ayahnya meninggal ketika Kiai Halim masih kecil,
sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya. Pada umur 21
tahun, Kiai Halim menikah dengan Siti Murbiyah puteri K.H. Muhammad
Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka) sebanding dengan kepala Kandepag
Kapubaten sekarang. Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak.
Seorang
di antara cucunya yang aktif di berbagai organisasi Islam seperti
sebagai pengurus BP4 Pusat, Wanita PUI, BMOIWI (Badan Musyawarah
Organisasi Islam Wanita Indonesia), GUPPI (Gerakan Usaha Pembaharuan
Pendidikan Islam) adalah Dra. Hj. Dadah Cholidah, M.Pd.I. Presidium
BMOIWI periode (2015-2016).
Pendidikan
Pendidikan agam telah ia peroleh sejak
kecil, pada usia 10 tahun
ia sudah belajar membaca al Qur’an, kemudian menjadi santri pada
beberapa orang kiai di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai
mencapai usia 22 tahun. Kiai yang pertama kali didatangi ialah KH.
Anwar di Pondok Pesantren Ranji Wetan, Majalengka, kemudian
berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Ia menjalani
setiap pesantren antara 1 sampai dengan 3 tahun.
Pesantren di JawaBarat yang pernah menjadi tempat belajar Kiai Halim adalah:
- Pesantren Lontang jaya, Panjalinan lor, Sumberjaya, Majalengka, pimpinan Kiai Abdullah.
- Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon, Cirebon, asuhan Kiai Sujak.
- Pesantren Ciwedus, Timbang, Kecamatan Cilimus, Kuningan, Kabupaten Kuningan, asuhan K.H. Ahmad Shobari.
- Dan yang terakhir Abdul Halim berguru kepada K.H. Agus, Kedungwangi, Kenayangan, Pekalongan, sebelum akhirnya kembali memperdalam ilmunya di Pesantren Ciwedus, Cilimus, Kuningan, kabupaten Kuningan.
Selain
giat di pesantren, Abdul Halim menyempatkan diri berdagang di sela-sela
waktu luangnya, seperti berjualan batik, minyak wangi, dan kitab-kitab
pelajaran agama. Pengalaman dagangnya ini mempengaruhi
langkah-langkahnya kelak dalam upaya membaharui sistem ekonomi
masyarakat pribumi.
Abdul Halim berangkat ke Mekah pada usia 22
tahun untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Ia bermukim
di sana selama 3 tahun. Pada kesempatan ini ia mengenal dan mepelajari
tulisan-tulisan Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh.
Di
Mekah, Kiai Halim berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menetap
di Mekah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil
Haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat.
Selama menuntut ilmu di Mekkah,
Kiai Halim banyak bergaul dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya yang
kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah
yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am
Syuriyah (Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut
setelah Kiai Hasjim Asy'ari meninggal pada tahun 1947. Pada tahun 1328
H/1911 M ia kembali ke Indonesia.
Dengan berbekal semangat juang
dan tekad yang kuat, sekembalinya dari Mekah, ia mulai melakukan
perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil
pengamatan dan konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa.
Usaha perbaikan yang ditempuh melalui jalur pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah):
Pada
tahun 1911 Abdul Halim mendirikan Majlis Ilmu sebagai tempat pendidikan
agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat
dari bambu. Dengan bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta
dukungan masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada
perkembangan berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun
tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal
para santri.
Pada tahun 1912 ia mendirikan Hayatul Qulub. Melalui
lembaga ini ia mengembangkan ide pembaruan pendidikan, juga aktif dalam
bidang sosial ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini
terdiri atas para tokoh masyarakat , santri, pedagang, dan petani.
Langkah-langkah
perbaikannya meliputi delapan bidang perbaikan yang disebut dengan
Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah),
islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan
bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah
al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan
masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah
al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong).
Secara
bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan
masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Melihat kemajuan dan hasil yang
telah dicapainya, pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga.
Secara diam-diam pemerintah kolonial mengutus polisi rahasia (yang
disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi pergerakan
Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915 organisasi
yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah sebagai
penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan
Cina). Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi dibubarkan namun kegiatannya
terus berjalan.
Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan
Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan
bidang pendidikan. Untuk ini ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair
dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang
dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada
tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan.
Perserikatan Ulama Indonesia/ Persatuan Umat Islam
Dengan
dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam
pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Ulama.
Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21
Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke
seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh
Indonesia.
Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada sektor
keuangan/dana, Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan
membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927, kemudian mendirikan
percetakan pada tahun 1930. Pada tahun 1939 ia mendirikan perusahaan
tenun dan beberapa perusahaan lainnya, yang langsung di bawah
pengawasannya. Untuk mendukung lajunya perusahaan di atas, kepada para
guru diwajibkan menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola
oleh persyarikatan wanitanya, Fatimiyah.
Abdul Halim juga
memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar
kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi
pegawai pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan mendirikan sekolah
/pesantren kerja bersama bernama Santi Asromo pada bulan April 1942,
yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka.
Selain
mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha
bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi
lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat
Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya
adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta
kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir penjajahan.
Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham
ahlussunnah waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah.
Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat
Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan
Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan Umat Islam” (PUI), yang
berkedudukan di Bandung.
Selain aktivitasnya membina organisasi
PUI, ia aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik menentang
pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 ia menjadi pimpinan Sarekat Islam
cabang Majalengka. Pada tahun 1928 ia diangkat menjadi pengurus Majelis
Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M.
Anwaruddin dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga
menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang
didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI
diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), ia menjadi
salah seorang pengurusnya. Ia juga termasuk salah seorang anggota Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu
Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota Komite Nasional indonesia
Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun 1955. Di kalangan
kawan-kawannya ia dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan
mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan daripada melalui
kekerasan.
Pergerakan Nasional
Abdul
Halim merupakan salah satu dari enam tokoh muslim yang bergabung dalam
salah satu badan penasihat Gunseikan, Cuo Sangi In. Badan ini memiliki
anggota berjumlah 43 orang. Pada bulan Mei 1945, ia diangkat menjadi
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pembentukan negara. Dalam BPUPKI ini Abdul Halim duduk sebagai anggota
Panitia Pembelaan Negara.
Sesudah Republik Indonesia berdiri,
Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Selanjutnya ia aktif membantu
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu Belanda melancarkan
agresi militer kedua yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, Abdul Halim
aktif membantu kebutuhan logistik bagi pasukan TNI dan para gerilyawan.
Residen Cirebon juga mengangkatnya menjadi Bupati Majalengka.
Pada
1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat
Islam bersama-sama dengan K.H.M Anwaruddin dari Rembang dan K.H.
Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI
(Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya.
Sesudah
perang kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap aktif dalam organisasi
keagamaan dan membina Santi Asromo. Namun, sebagai ulama yang berwawasan
kebangsaan dan persatuan, ia menentang gerakan Darul Islam pimpinan
Kartosuwiryo, walaupun ia tinggal di daerah yang dikuasai oleh Darul
Islam. la juga merupakan salah seorang tokoh yang menuntut pembubaran
Negara Pasundan ciptaan Belanda.
Dalam periode tahun 1950-an
Abdul Halim pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa
Barat dan kemudian menjadi anggota Konstituante.
Wafat
KH
Abdul Halim meninggal di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka,
1381 H/1962 M. Atas jasa-jasanya Pemerintah Republik Indonesia,
Presiden Susilo Bambang Yudoyono menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 041/TK/Tahun
2008 tanggal 6 November 2008.
Beliau mewakafkan harta bendanya untuk madrasah dan institusi pendidikan. Bahkan rumah pribadinya diberikan untuk PUI.
Peninggalan
Terdapat
dua peninggalan K.H. Abdul Halim yang masih bertahan hingga hari ini,
yaitu: pesantren Santi Asromo dan organisasi Persatuan Umat Islam (PUI)
yang bergerak di bidang agama, pendidikan, sosial dan budaya. Santri
Asromo merupakan pendidikan pesantren yang membekali siswa dengan
keterampilan. Para santri di Santi Asromo mendapat bekal pengetahuan
seperti pandai besi, menyuling minyak kayu putih, bertani kopi dan lada
serta beternak ayam, kambing dan ikan.
Hingga kini bangunan Santi
Asromo telah berkembang dan berdiri kokoh di atas tanah seluas 12
hektare dengan fasilitas pondok pesantren, Madrasah Ibtidaiyah PUI, SMP
Prakarya dan SMA Prakarya.
Sekretaris Jenderal Persatuan Umat
Islam (PUI) periode 2009 - 2014, Ahmadie Thaha menilai, model pendidikan
Santri Asromo yang mengajarkan santri entrepreneurship melampaui
zamannya. “Waktu itu ada mesin jahit dan percetakan. Jadi bisa
dibayangkan zaman itu saja sudah modern”, ujar Ahmadie.
Sumber:
- Wikipedia bahasa Indonesia - Ensiklopedia bebas, 'Abdul Halim dari Majalengka' https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Halim_dari_Majalengka
- Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet-11, 2003, hal. 12-14