Cerpen : "Kisah Di Balik Kesuksesan Sang Penghapal Al Qur’an"

Kisah Di Balik Kesuksesan Sang Penghapal Al Qur’an (Cerpen)
Al-Qu'ran hafalan, Al-Taisir

Aku adalah salah satu dari ribuan orang di negeri ini yang Alhamdulillah diberikan kemudahan untuk menghapal Al-Qur’an oleh Allah subhanahu Wa ta’ala. Bukan saja hafal, aku juga bisa mengetahui letak ayat dalam satu halaman mushaf Al-Qur’an, apakah itu letaknya di atas, tengah ataupun bawah halaman Mushaf Al-Qur’an. Bukan sekedar hafal, In Sya Allah aku bisa menjelaskan setiap ayat baik itu terjemahan ataupun tafsir menurut ilmu yang terkait di dalamnya. Semua kemudahan tersebut tak lepas dari peran orang-orang di sekitarku yang telah membimbing, memberi jalan dan dorongan hidup agar dapat memuluskan jalan menuju ridha Allah hingga dapat mendapatkan manfaat baik untuk diri sendiri dan orang lain.

Kisah Spiritualku berawal dari sebuah rumah kecil di Pandeglang, Banten. Ayahku adalah seorang pengajar (Ustadz) di sebuah Musholla kecil (di kemudian hari menjadi mesjid). Setiap malam yang ditentukan aku selalu di bawa ayahku ikut taklim. Saat ayah mengajar, aku menemani di sisinya hingga tertidur. Bila tiba waktunya pulang, aku digendongnya menuju rumah. Beliau tidak pernah membangunkanku saat tidur di musholla, dengan penuh rasa kasih sayang seorang ayah dijaganya tidurku hingga tiba di rumah kami.

Aku ingat betul saat ayah memelukku sepanjang perjalanan dari musholla menuju rumah, aku tahu apa apa yang dilakukannya di sepanjang jalan menuju rumah agar diriku tetap terjaga dari tidur. Hal ini dapat aku ketahui saat aku pura-pura tidur di musholla, hal ini kulakukan hanya ingin tahu saja apa yang ayah aku lakukan sepanjang jalan menuju rumah.

Saat tiba di rumah, kemudian ayahku meletakkan aku (yang saat itu pura-pura tidur) di tempat tidur. Saat itulah aku bangun, mengetahui aku pura-pura tidur, ayahku bukannya marah tapi malah tersenyum dan mengajakku bermain. Itulah kenangan saat kecil yang masih membekas dalam ingatanku hingga aku dewasa.

Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga biasa, beliau adalah sosok ibu sangat sayang keluarga. Kesholehannya membawa kami selalu dekat dengan tuntunan agama Islam yang benar. Ada dua prinsip yang aku ingat betul tentang ibuku, yang pertama beliau adalah sosok yang disiplin dalam hal beribadah kepada Allah.

Bila waktu magrib tiba, semua penghuni rumah dilarang melakukan aktifitas. Televisi dan radio harus dalam keadaan mati, selesai menunaikan shalat magrib aku dan  ke-empat saudaraku yang lain harus sudah siap di depan beliau untuk belajar mengaji dan beliaulah yang mengajarkan membaca Al-Quran langsung kepada kami.

Bila salah satu dari kami tidak hadir maka keempat saudara yang lainnya disuruh untuk mencari, kemanapun bersembunyi pasti bisa ditemukan, hingga kami dipastikan hadir semua di depan ibu untuk mengikuti pelajaran mengaji malam itu. Pernah aku bersembunyi di bawah lemari, dan keempat saudaraku mencariku hingga didapatinya diriku bersembunyi di bawah lemari.

Yang kedua yang aku ingat betul sejak aku kecil, salah satu usaha beliau sepeninggal ayah kami (ayahku wafat saat aku berusia 13 tahun). Sejak aku kecil, aku pahami betul beliau (ibuku) selalu memastikan apa-apa yang masuk ke dalam makanan kami, semuanya betul-betul dalam keadaan yang halal. Misalnya saja, kalau beliau membeli ayam tidak pernah membeli ayam yang sudah mati. Beliau datang sendiri ke pasar untuk mencari ayam yang masih hidup dan disembelih oleh tukang ayamnya di hadapan beliau dan doanya beliau langsung yang bimbing, hal ini dilakukan untuk memastikan ayam yang disembelih benar-benar sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Kalaupun makanan yang dibawa ke rumah dalam keadaan jadi, maka dipastikan orang yang menjualnyanya sangat dikenal beliau. Ibu kami selalu memastikan anak-anaknya mendapatkan makanan yang benar, yang Allah ridhai dan membangun hubungan baik dengan Allah Subhanahu wa ta ‘alaa.

Saat menginjak usia sekolah, aku masuk sekolah taman kanak-kanak (TK) dan diteruskan ke seolah dasar (SD). Lulus sekolah dasar, orang tua mendaftarkan aku ke sebuah pesantren di Garut. Setelah siap untuk berangkat untuk memulai mondok di pesantren, saat itu ayah diberikan ujian sakit oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebelum berangkat, ibu, dan keempat saudaraku menjenguk ke rumah sakit.

Tiba di rumah sakit, ayah yang terbaring di tempat tidur memanggilku untuk mendekat. Aku yang saat itu baru berusia 13 tahun hanya bisa menatap dan mendekat. Saat itu, ayah hanya memeluk dan membisikkan sesuatu kepadaku.

Beliau katakan : “Nak mohon maaf. Bapak nggak bisa ngantar ke pesantren”. Lalu tiba-tiba dokter datang mengatakan, mungkin seminggu atau dua minggu.

Anak kecil yang belum mengerti isyarat hidup ini, memeluk erat ayah. Dan ternyata itu adalah akhir pertemuan aku dengan  Ayah.

Usai menjenguk ayah kemudian aku pergi berangkat ke pesantren. Dengan dorongan semangat dari orang tua dan saudara-saudaraku, akupun mantap mondok, dengan peci hitam di kepala, pakaian koko dan tas berisi keperluan pribadi aku pergi ke pesantren.

Di pesantren aku ikuti semua kegiatan yang telah dijadwalkan. Saat di pesantren aku harus beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan jadwal kegiatan yang begitu padat. Beberapa jam sebelum subuh kami sudah dibangunkan untuk melaksanakan shalat tahajud, membaca dan atau menghafal Al-Qur’an. Selepas itu siap-siap untuk menuju masjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah. Ada yang membuat aku kagum mengikuti shalat subuh di pesantren, seluruh shaf shalat, baik itu di dalam maupun di luar masjid penuh oleh jamaah yang kebanyakan para santri. Selain itu bacaan imam shalat subuh sangat indah dan enak di dengar, sehingga surat panjang yang dibacapun tak terasa lama.

Pagi sebelum belajar di kelas, kami bersiap untuk sarapan di kantin, setiap santri berbaris dengan rapi menunggu giliran mendapat jatah sarapan pagi. Gambaranku tentang kehidupan di pesantren tidak seseram yang aku dengar dari beberapa teman di kampung, kata mereka hidup di pesantren itu serba susah makan aja harus masak sendiri. Namun di sini aku rasakan hal yang beda, santri mondok seperti aku ini tugasnya hanya mengikuti aturan di pondok dan belajar dengan sungguh-sungguh, sisanya sudah dipersiapkan oleh pengurus pondok.

Selepas sarapan, aku dan santri-santri lain mengikuti proses belajar di kelas, sama seperti ketika aku masih di SD, di pesantrenpun belajarnya di kelas dan pulang ba’da Shalat zuhur.

Selesai mengikuti proses belajar di kelas, santri dipersilahkan untuk makan siang. Setelah itu santri kembali ke ruangan masing-masing. Saat itu beberapa santri ada yang mengisi waktu dengan menghapal surat-surat dalam Al-Qur’an, membaca buku-buku, atau hanya sekedar duduk-duduk sambil berbincang dengan teman satu kamar.

Tiba waktunya shalat ashar, para santri harus sudah berada minimal 15 menit sebelum adzan ashar berkumandang (hal ini berlaku juga untuk waktu shalat lainnya). Selesai shalat ashar semua santri diharuskan setoran hafalan al-Quran. Sore harinya sekitar jam 17 sampai datangnya waktu shalat magrib adalah waktu bebas santri, waktu ini bisa dimanfaatkan untuk mandi, makan, istirahat dan lain lain.
 
Memasuki waktu shalat magrib, para santri sudah memadati ruangan dan bagian luar masjid. Selesai shalat magrib, para santri tidak langsung kembali ke ruangan, kami biasanya berdiam di masjid untuk melakukan dzikir, tadarus Al-quran, Mujahadah dan kegiatan keagamaan lainnya yang sudah ditetapkan pengurus pondok.

Selesai shalat Isya berjamaah di masjid,  kami mengikuti pengajian kitab kuning dan tahfidz Al-Qur’an. Setelah itu kembali ke ruangan untuk makan malam, belajar, dan istirahat tidur.

Begitulah kegiatannku di pesantren sehari hari seperti itu. Suka duka banyak aku rasakan saat mondok di pesantren. Alhamdulillah, saat di pesantren orang tuaku selallu memberikan yang terbaik untuk aku, misalnya saja jumlah uang saku yang aku terima di atas rata-rata teman-temanku di pesantren.

Hari berganti hari, tiba-tiba ada kabar dari pengurus pesantren kalau aku disuruh pulang ke rumah. Akupun pulang ke kampung halaman, Saat itu yang menjemput aku pulang adalah saudaraku tanpa ditemani kedua orang tuaku.

Sepekan, mau masuk dua pekan aku diminta keluar dari kelas. Aku masih ingat, subuh saat itu. Masih pakai seragam putih hitam. Di luar kakakku sudah menunggu, beliau berkata bahwa aku harus pulang.

Namun betapa bergetar hati ini saat aku tanyakan keadaan kedua orang tuaku, terutama saat aku tanyakan kesehatan Ayah.

Ibu dan Ayah mana, kenapa beliau tidak ikut jemput?” kataku sambil menatap wajah saudaraku.

Ibu baik-baik saja di rumah, beliau sangat menantikanmu sepertinya rindu sekali ingin bertemu,” Kata kakakku.

Lalu Ayah bagaimana, apakah beliau sudah sehat?, terakhir kulihat beliau terbaring di rumah sakit” kataku. Namun kakakku tidak menjawab.

Sampai di Bandung pamanku mengatakan "mungkin nggak akan terkejar. Ayah mungkin sudah dimakamkan." Aku baru tahu kalau Ayahku meninggal saat itu. Sampai ke rumah ternyata sudah Maghrib menjelang Isya.

Saat tiba di rumah, aku dapati ibuku di ruang tengah sedang duduk dan aku menahan untuk tidak sedikitpun mengeluarkan air mata demi membahagiakan ibuku. Aku peluk ibuku, aku temani tidurnya. Dalam tidur aku bermimpi, itulah terakhir aku melihat Ayahku di mimpi. Dalam mimpi itu beliau datang mengenakan kemeja biru, tersenyum kemudian melambaikan tangannya lalu pergi. 

Besoknya, baju-baju terbaiknya diberikan ke sahabatnya. Kitab-kitabnya juga demikian. Saat aku masuk kamarnya, aku melihat ternyata beliau sudah menyiapkan kitab-kitab yang justru itu dipelajari olehku di pesantren. Tapi ada satu yang menarik perhatianku waktu itu, adalah mushaf berwarna biru yang diwariskan ayahku dan disimpan di tempat tertentu.

Aku bawa mushaf itu keluar, ke ruang tamu. Di satu duha aku menghadap ke arah kiblat lalu kubuka kemudian aku katakan “Ya Allah Aku sudah tidak mampu lagi membahagiakan ayahku saat di dunia ini. Maka mohon berikan Aku ya Allah taufik, bimbingan kemampuan untuk menghafal Quran ini dan mengamalkannya dan jadikan setiap huruf yang Aku hafalkan, melahirkan pahala untuk ayah dan ibuku.

Air mataku keluar pada saat itu. Lalu aku mulai kemudian membaca tanpa terasa setiap yang dibaca masuk ke kepala... masuk... masuk.

Aku tak bisa melupakan dengan ayatnya, dengan nomornya, dengan posisinya, masuk begitu saja.

Sampai kembali kemudian ke pesantren, di situ diriku dan santri lain diminta untuk menghafalkan delapan ayat.

Aku diminta untuk membacakan ayat yang telah dihafal, lisanku tidak bisa berhenti mengucapkan Quran sampai 40 ayat terus. Guru ku mengatakan, “sudah nak selesai. Kamu duduk di sini, bapak keluar. Berikan nilai kepada teman-teman yang ada di sini.

Begitulah seterusnya, meski hati ini berat melepas kepergian Ayah namun aku harus tetap kuat. Aku lanjutkan mondok di pesantren, alhamdulillah meski ayah sudah tiada tapi Ibuku mampu memberikan rejeki terbaik untuk anaknya. Untuk bekal di pesantren, ibuku selalu memberikan yang terbaik. Bukan itu saja, segala keperluanku dipenuhinya dengan sempurna bahkan untuk masalah uang saku, jumlahku lebih besar dibanding teman-temanku di pesantren. Rupanya ibuku sudah banyak tanya kepada anak-anak pesantren, tentang berapa jumlah bekal yang diberikan oleh orang tua mereka.

Tibalah waktu yang ditunggu, aku berencana pulang menemui keluargaku. Akupun pulang dengan rasa bahagia bisa bertemu dengan keluarga yang begitu aku rindukan.

Saat ada waktu libur dari pesantren, aku pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ibuku yang saat itu sedang menjemur pakaian tersenyum melihat aku pulang. Namun dibalik senyuman tersebut aku melihat sesuatu yang membuatku merasa kaget, aku lihat ibuku mengenakan pakaian yang tidak layak pakai, sangat berbeda dengan pakaian-pakaian yang sering akau lihat saat sebelum aku pergi mondok. Bukan itu saja, pakaian yang dijemurnyapun sama yakni pakaian yang sudah tidak layak pakai.

Demi melihat kondisi yang begitu menyentuh hatiku, Aku lansung berlari masuk ke dalam kamar ibu. Aku buka lemari pakaiannya, namun tak satupun pakaian yang aku temukan di dalamnya.
Bergegas aku temui kakakku yang sedang menyiapkan makanan untuk kami, lalu aku bertanya. “Kemana pakaian dan perhiasan ibu kita?

Sambil menangis Kakakku menjawab : " Ibu telah menjual semua perhiasan dan pakaiannya untuk pendidikan kita belajar ".

Dari obrolan antara aku dan Kakakku diketahui bahwa Ibuku bertahan dengan uang sebanyak 150 ribu rupiah perbulan (sekitar tahun 1997). Dengan itu beliau hanya makan nasi satu kali saja dalam sehari. Sebelum pergi untuk mengajar, ibuku sempatkan sarapan pagi dengan makan pisang dan kopi, malamnya baru beliau makan nasi.

Dalam hatiku berucap : "Ya allah, aku akan ganti pakaian ibuku dengan kain ihram, Aku gandeng tangannya di masjidil haram".

Singkat cerita Aku pergi ke Libya untuk kuliah, Allahamdulillah aku bisa berangkat hingga mampu untuk mulai mengajar dengan serius. Di luar waktu mengajar, malam aku bangun, sholat, belajar, menghapal al-qur'an, dan belajar riwayat al-qur'an. Saat itulah Allah memberikan jalan kehidupan yang terbaik.

Sampai puncaknya tiba, Aku ditugaskan oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi petugas haji. Aku telepon ibu, dengan mengatakan "Ibu Insyallah Aku akan haji tahun 2010".

Terbayang, senyum indah ibuku pada saat itu. "Allahamdulillah nak, kapan berangkat?" Saya bilang, 2010, saya tak akan berangkat haji kecuali dengan ibuku.

Terdengar nada pesimis, tapi senyum. "Dari mana kamu bisa berangkatkan ibu naik haji?"

"Allah subhanahu wa ta'ala akan kasih kepada saya, sebab saya sedang berusaha karena allah, mustahil nggak dikabulkan allah".

Saat itu ongkos naik haji 25 juta. Jumlah itu yang dibutuhkan agar aku dan ibuku bisa pergi haji bersama, dan pada bulan juli uang tersebut sudah harus ada untuk disetorkan.

Demi niat baik untuk memberangkatkan ibuku pergi haji, aku menabung uang. Di kala mengajar mendapatkan rezeki uang, maka aku tabungkan uang tersebut ke celengan yang sudah aku siapkan.

Tepat sepekan saat itu, sebelum menyetorkan uang untuk pergi haji, dibukalah celengan tersebut dan ternyata Allahamdulillah uang tersebut banyak dan terkumpul 1 juta, kurang 24 juta lagi.

Tapi 3 hari sebelum daftar, ada saja rezeki dari allah swt, datanglah ibu-ibu KBRI datang. Entah tahu dari mana, langsung bertanya "ustadz, ibunya katanya mau pergi haji yah? Sudah tak usah dipikirin yah, biarkan kami saja yang mengurusnya."

Tiba-tiba dikirim uang untuk pendaftaran haji, koper juga sudah disiapkan yang ukuran besar. Tapi ada kabar kurang jelas dari Ibu, ibuku menelpon: "nak kopernya belun datang, apa haji nya ini tidak jelas?"

Aku menjawab: "Insyallah ada bu, tenang saja, nggak buk, Insyallah jelas."

Nah ceritanya itu berbeda lagi saat aku telpon ibu untuk yang kali keduanya. "Nak telah keluar pengumumannya bahwa ibu pergi haji tahun 2013"

Dengan pengumuman tersebut bisa dipastikan bahwa saat itu ibu tak bisa pergi haji bareng aku, hal itu disebabkan jadwal keberangkatan hajiku adalah tahun 2010.

Ibuku berkata dengan sangat bijaksana : "Anakku jangan sampai engkau memakan/mengambil hak orang lain"

"Ibu, kita tidak harus mengambil hak orang lain, tapi kita meminta kepada allah yang memanggil kita, bisa jadi di tambah lagi kuota haji di indonesia". Demikian kataku saat itu di telepon. dan akupun  berdoa lagi terus semangat.

Tiba-tiba ada sidang di Istanbul Turki untuk keputusan penambahan kuota haji, setiap 1 ribu muslim di tambah lagi kuota hajinya setiap negara. Saat itu indonesia mendapatkan penambahan kuota haji sebanyak 22 ribu di tahun 2010 termasuk Ibuku tercinta ada dalam penambahan kuota tersebut.

Sebelum itu, aku hadir dalam acara di istanbul turki untuk menjadi MC. Saat itu tak biasanya aku membawa handphone, tiba-tiba ada telpon masuk dan Hpku yang berada di saku celanaku, lalu aku meminta izin untuk mengakat telpon tersebut. Kemudian terdengar ada suara menangis bahagia dari suara telpon itu, "Nak Allahamdulillah ibu bisa haji".

Hanya 5 bulan, tak mengeluarkan dana apa pun untuk pergi haji aku dan dan ibuku tercinta dapat pergi haji bareng di tahun yang sama.

Saat itu aku berangkat pergi haji duluan. Aku tunggu Ibu di apartemen, ketika sudah sampai aku tidak langsung menyapa namun melihat dari kejauhan. Bahagianya aku bisa mengganti pakaian ibuku dengan kain ihram.

Aku perhatikan, aku ikuti beliau dari belakang, di lift aku ikuti, di jalan aku ikuti. Ketika sampai di Masjidil Haram, aku gandeng tangan ibuku,

"Ibu kita sama-sama". Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaika la syarika la kala baik, Inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulk la syarikalak."

Saat tawaf, kugandeng tangan ibuku dengan tangan kanan, aku lindungi beliau agar mendapatkan kenikmatan dalam ibadah. Begitu Aku rasakan bagaimana Sayyidiina Hajar berkeja keras untuk Ismail, Aku balas di situ, Aku gandeng tangan kanannya, Aku minta kepada Allah subhanahu wa ta'ala, "ya Allah muliakanlah ibuku, muliakanlah, muliakanlah ibu tercintaku berikan kesempatan membahagiakan ibuku".

Namun ada sedikit kestidakseimbangan saat itu, tangan kananku  menggandeng, namun yang kiri kosong, karena sudah tidak ada (ayah).