Cerpen : Penyebab Kesurupan Massal di Kampung Curug

Cerpen : Penyebab Kesurupan Massal di Kampung Curug

Kampung Curug adalah suatu daerah pinggiran kota Bogor yang posisinya lebih dekat dengan ibukota Jakarta. Tak heran bila kita berinteraksi dengan penduduknya menggunakan budaya Betawi, misalnya saja dari segi bahasa mereka menggunakan bahasa Betawi padahal Kampung Curug masuk kabupaten Bogor, provinsi Jawa Barat.

Yang unik, bahasa yang dipakai tidak murni bahasa Betawi tapi sudah bercampur dengan bahasa Jawa. Misalnya saja untuk mengatakan ‘tidak ada’, orang Curug mengatakan ‘ora ada’. ‘ora’ adalah bahasa Jawa yang artinya tidak.

Pesta perkawinan tidak lepas dari budaya Betawi, mulai dari lamaran, upacara adat pernikahan seperti “palang pintu” masih kental terasa di kampung ini.

Dengan budaya tersebut, siapapun yang berada di kampung Curug akan merasa seperti di Jakarta khususnya kampung Betawi padahal daerah ini masuk Provinsi Jawa barat yang mestinya menganut budaya Sunda.

Kampung Curug, tempatnya begitu damai. Orang-orangnya ramah. Bila ada tamu atau orang baru datang ke kampung itu maka akan disambut dengan ramah tamah. Orang tersebut akan disapa oleh penduduk kampung meski belum kenal.

Beberapa tempat di kampung ini begitu asri, masih berupa kebun-kebun dengan pepohonan besar seperti pohon durian, rambutan, dan lain-lain. Penduduknya kebanyakan berkebun pohon-pohon hias yang akan dijual untuk taman dan beternak ikan lele dumbo di pekarangan rumahnya. Mereka beternak lele dumbo dari mulai pembibitan menggunakan kolam-kolam kecil di pekarangan rumah hingga pembesaran lele di empang-empang besar.

Dengan kondisi kampung yang rimbun dengan pepohonan dan penerangan minim maka siapapun yang melintas di malam hari di kampung ini akan terasa suasa mistisnya.

Di sebuah tempat pinggir jalan yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk terdapat sebuah bangunan kecil semi permanen, sepintas seperti pos ronda atau pos siskamling. Di pinggir dan belakang bangunan ini terdapat kerumunan pohon-pohon rindang namun terlihat rapi dan bersih. Bangunan ini sering dipakai para pemuda dan pemudi untuk berkumpul sekedar mengisi hari dengan nongkrong-nongkrong sambil bernyanyi diiringi dentingan gitar yang memecah kesunyian daerah sekitarnya.

Para pemuda biasa ngumpul saat hari menjelang malam, mereka akan berkumpul untuk bernyanyi-nyanyi sambil berjoget diiringi dentingan gitar akustik dan tam-tam (sejenis alat pukul yang biasa dipakai dangdutan). Sebagian ada yang membuat api unggun untuk membakar lele dumbo. Lele dumbo yang dibakar adalah lele jantan yang mati setelah diambil kelenjar hypofisa nya (bagian otak lele Jantan) untuk disuntikkan ke lele induk sehingga merangsang lele betina agar mudah bertelur. Lele ini biasa mereka dapatkan secara gratis dari peternak lele.

Selain lele, bila beruntung mereka bisa bakar ayam yang didapat dari peternak ayam pedaging yang sesekali melintas di depan ‘basecamp’ mereka.

Hari ini tidak biasa, anak muda yang nongkrong di sana tidak terlihat segembira hari-hari sebelumnya, hanya terlihat beberapa orang saja yang nongkrong dengan alunan suara gitar yang dimainkan dengan suara yang kecil.

“Mbul lu tau ngak, maren si Ni’mah kesurupan lamaaaa banget.” Ucap Yanto di sela-sela dentingan gitarnya.

“Gua denger To, Malah bukan Dia doang yang kesurupan, kata pak Ustat sih ada dua orang lagi yang kesurupan, sama kemaren juga.” Jawab Nimbul.

“Ih serem, tapi yang bikin gua heran napa Ni’mah nyebut-nyebut tempat kita waktu die kesurupan.” Kata Yanto sambil meletakkan gitarnya di meja dan mendekat ke Nimbul.

“Yang bener To!, kalo gitu sama dong dengan dua orang yang kesurupan, gitu jinnya ngomong, Kok gua jadi merinding begini ya.” Ujar Nimbul sambil kedua tangannya melingkar di dada seperti orang sedang kedinginan.

“Perasaan selama gua hidup di kampung nie ngk pernah ada tuh yang namanya kesurupan ampe banyak kayak gini, pernah sih skali tapi ngk lama, kesurupannya juga akibat dia ngelmu gitu”. Kata Yanto sambil liat ke sekitar.

Memang, beberapa hari ini kampung di Curug sedang digegerkan oleh terjadinya keurupan masal yang terjadi pada pemuda dan pemudi di kampung tersebut. Orang-orang yang kesurupan itu tingkah lakunya sama, dari mulai ucapan maupun durasi kesurupannya. Jin atau setan yang merasukinya mengatakan tidak suka bila kerajaannya diganggu, di akhir kalimat jin tersebut mengajak perang ke penduduk kampung.

Anehnya jin yang merasuki orang yang kesurupan itu omongan yang dikeluarkan tak jauh menyebut-nyebut nama bangunan yang biasa dipakai nongkrong pemuda.

Kesurupan kembali terjadi di kampung curug, kali ini terjadi setiap hari. Mereka yang terasuki berbeda beda orang, jin yang merasuki berpindah pindah dari satu orang ke orang lainnya. Teriakan kencang dari orang-orang yang kesurupan memecah kesunyian kampung curug yang asalnya damai sehingga membuat seisi kampung resah, orang-orang yang belum merasa kesurupan menjadi takut bila dirinya kerasukan juga.

Namun, ada keunikan dengan kejadian kesurupan di kampung Curug ini, masjid-masjid dan mushola yang semula sepi kini menjadi penuh dengan jeamaah yang menunaikan shalat. Dulu sebelum kejadian ini, mushola atau masjid biasa saja, mungkin beberapa orang tua yang mengikuti shalat wajib berjamaah.

Bukan itu saja, hampir setiap malam para pemghuni kampung Curug rajin membaca Al Qur’an di masing-masing rumah mereka. Mungki inilah salah satu cara mereka agar terhindar dari kesurupan yang akhir-akhir ini terjadi di kampung mereka.

Kegemaran masyarakat Curug tersebut berlangsung kira-kira satu minggu lebih. Sejak itu tidak ada lagi terdengar ada anggota masyarakat Curug yang kesurupan. Namun kedamaian itu tidak berlangsung lama, orang-orang curug satu persatu mulai jarang melakukan kegiatan mengaji di rumah. Mereka kembali beraktivitas seperti semula termasuk para pemuda yang suka nongkrong di basecamp mereka.

Nimbul, Yanto dan teman-temannya kembali beraktifitas di tongkrongan mereka, bernyanyi dan bermain musik hingga larut malam.

Tak lama berselang lama setelah kesurupan yang terjadi pada warga Curug, di RT lainnya terjadi pula kesurupan, kesurupan ini bikin geger karena berlangsung lama sekali. Sampai pak ustadz dibuat pusing. Bagaimana tidak, suara raungan orang yang kesurupan begitu keras hingga terdengar ke segenap penjuru kampung, apalagi kejadian kesurupan ini berlangsung pada malam hari selepas magrib.

Kabar mengenai kesurupan ini sampai ke seluruh warga kampung Curug. Sehingga masyarakatpun banyak yang menyaksikan kejadian kesurupan tersebut. Rumah orang yang kesurupan penuh sesak oleh orang orang, bukan hanya di dalam, kerumunan berjubel hingga ke pekarangan rumah.

Jawir, pemuda yang kesurupan tersebut terlihat beringas matanya yang memerah melotot melihat ke sekililing sambil berkata-kata tidak karuan. Rambutnya yang biasa tersisir rapi kini kusut tak karuan. Bapak dan kaka lelaki Jawir berada di sampingnya sambil memegang kedua tangan Jawir, meski dipegang oleh dua orang, jawir kerap berontak seperti ingin lepas dari cengkeraman.

“Heh lu pade ngapain pada nonton guah... pengen mati luh?” ucap Jawir sambil menatap dengan sorot mata tajam ke arah warga yang berkumpul di rumahnya yang saat itu dalam keadaan masih kesurupan.

Salah seorang warga menjawab ucapan jawir. “Heh lu wir diem napa brisik tau.”

Jawir yang saat itu sedang kesurupan berkata dengan keras sambil melihat ke arah orang tadi. “Sini lu biar gua matiin”

Orang yang berkata tadi langsung terdiam saat melihat reaksi Jawir yang kesurupan itu. Ia sepertimya merasa bahwa memang yang berkata bukanlah Jawir, tapi ada sosok lain yang merasuki tubuh Jawir.

Jawir adalah warga yang baik, kesehariannya berprofesi sebagai peternak lele bibitan. Sifatnya baik, tidak pernah menyakiti hati orang, rajin menolong tetangga yang membutuhkan bantuannya. Maka kejadian kesurupan ini membuat heran warga.

Demi melihat ucapan yang diucapkan Jawir tadi, kontan saja orang-orang di sekitar pada kaget dan takut, mereka menjauh dari si Jawir yang sedang kesurupan termasuk orang orang di pekarangan rumah.

Ruangan tengah rumah jawir yang asalnya penuh sesak dengan warga kini agak lengang, banyak warga yang berlarian, berhamburan keluar rumah karena ketakutan. Warga yang berada di luarpun ikut berlarian karena melihat orang-orang yang berada di dalam berlarian ke luar.

Akibat kericuhan itu rumah jawir menjadi berantakan, kursi-kursi yang berada di ruangan dan di luar terguling dan berserakan tak karuan terdorong oleh orang-orang yang ingin keluar dengan cepat. Pot bunga yang berada di pekarangan rumahpun tak luput dari sasaran, terinjak dan hancur.

Di sela-sela kegaduhan itu, datanglah Ustadz Tu’in, berpakaian koko putih, celana hitam dengan peci di kepala. Dengan mengucap salam sambil tersenyum beliau masuk ke dalam rumah Jawir.

“Assalamual'aikum”

“Wa ‘alaikum salam” Jawab warga.

Ayah Jawir yang dari tadi terlihat tegang kini terlihat sedikit tenang, dengan senyum bahagia menyambut Ustadz Tu’in sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman ia mempesilakan pa Ustadz untuk masuk.

“Alhamdulillah pa Ustadz dateng, silakan masuk... Bagaimana kabarnya pa?”

“Alhamdulillah baeeeek, ayo langsung aja mana Jawir?”

“Itu pak Ustadz, dia di dalem. Asalnya sih dia di rumah lagi nonton tipi, trus tiba tiba teriak-teriak ngomong ngk jelas, dari tadi juga begitu bae... susah nyembuhinnya, tolong deh pa ustadz biar dia baek lagi”

“In Syaa Allah, Mari kita Ikhtiar”.

Pak Ustadz langsung mendekat ke Jawir yang masih dalam keadaan kesurupan. Tanpa basa basi, Ustadz Tu’in langsung bertanya ke Jawir sambil memegang tengkuk (bagian antara leher belakang dan kepala). Jawir yang dari tadi sealau berontak dan selalau melihat ke sekeliling kini terkulai dan tunduk di bawah pengaruh Ustadz Tu’in.

“Siapa lu, apa mau lu?” tanya Ustaz Tu’in.

Dengan nada bicara yang keras jin yang merasuki jawir menjawab: “Ha... ha... ha... heemmm gua raja, penguasa kerajaan yang istananya udah lu rusak, gua mau kerajaan gua kembali kaya dulu. Liat tuh tentara gua pada kabur ngak mau diem di istana gua lagi, lu harus tanggung jawab. Kalau kagak, kita perang aja” kata mahluk yang merasuki Jawir sambil melihat ke sekeliling.

Tiba-tiba seorang pemuda berkata , “Ya kalo perang kita kalahlah, lu bisa liat kita... lah kita ngk bisa liat elu, kalah lah kita”

“Diem luh!, Heh lu (Sambil nunjuk ke arah Yanto) Lu jangan suka brisik maen gitar di Istana Gua...” kata mahluk tersebut, tak ayal lagi Yanto yang saat itu memperhatikan langsung shok, badannya terlihat gemetaran karena takut.

"Elu ... (nunjuk ke pa Ustadz Tu’in) elu tau kan gua... seharusnya luh kasih tau tuh anak-anak jangan gangguin kerajaan gua.” Kata mahluk itu.

Pak Ustadz menjawab. “Ok kalo itu mau luh, nanti soal kerajaan lu yang rusak gua yang tanggung jawab, lu ngk usah kuatir, sekarang pergi lu dari jasad anak ini kasian.”

Setelah Ustadz Tu’in berkata demikian, tiba tiba tubuh Jawir langsung lemas, matanya tertutup, dan terkulai lemas. Sepertinya mahluk yang merasuki jawir sudah pergi.

Tak beberapa lama Jawir bangun dan menanyakan tentang keberadaan orang-orang di rumahnya, sepertinya ia tidak sadar atas apa yang sudah terjadi pada dirinya. Itu bisa terlihat dari gerak-geriknya yang seakan bingung.

“Eh... Pak Ustat (sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman), ada apa ini kok banyak orang di rumah saya, ada apa yak?”

“Kagak ada apa-apa, Cuma tadi kata bapak, lu tiba-tiba pingsan pas lagi nonton tipi, terus teriak-teriak ngk karuan kayak orang kesurupan” kata Pa Ustadz

“Oh iya, saya inget pak Ustadz, tadi saya nonyon pilem horor di tipi, terus saya ngelamun, tiba tiba tengkuk saya berat dan kepala saya pusing, abis itu saya ngk inget, tau-tau udah rame gini di rumah”

“Ya gk papa, sekarang lu minum aer anget dulu dah,,, ntar istirahat ya. Jangan ngelamun lagi ngk baek. Bagusanmah shalat atau ngaji Qur’an sono”

“Ia Pak Ustat, in syaa Allah”

Setelah selesai ngobrol dengan Jawir, Saat itu juga Ustadz Tu’in mengumpulkan warga khususnya pemuda Kampung Curug untuk memberikan petuahnya.

“Asalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh..., Wassholatu wassalamu “alaa Asyrofil anbiyaa iwal mursaliin, wa alaa alihi wa sohbihi ajma’in, amma ba’du. Ibu-ibu bapak-babak, khususnya pemuda pemudi kampung curug, seperti yang telah kita ketahui tadi, jin yang merasuki Kang Jawir tidak suka bila kerajaannya diusik, dan ingin dikembalikan seperti semula. Nah.... untuk itu Saya mohon bantuan Pamuda pemudi untuk mengembalikan tempat tersebut seperti semula. Tempat yang biasa dipake nongkrong yang udah dirapihin, dibersihin mohon balikin aja lagi ke semula. Asalnya kotor kembaliin ke kotor, asalnya acak acakan kembaliin ke berantakin lagi. Sudah berhenti! jangan dipake nongkrong lagi apalagi dipake begadang sambil nyani nyanyi ngak jelas. Lebih baek makmurin masjid dan musholla, dateng ke mesjid untuk shalat lima waktu secara berjamaah. Ikuti setiap ada pengajian malem jum’ at. Bentuk lagi ikatan remaja masjid yang sempat bubar. Nah begitu saja dari saya, siap melaksanakan semua itu?”

Warga menjawab dengan serentak “....Siaaaaap”

“Baiklah kalo begitu, Jadi, besok kita mulai bergerak untuk mengerjakan apa-apa yang Saya sebutkan tadi, semoga Allah meridhoi. Semua sudah beres sekarang silahkan kembali ke rumah masing-masing, lakukan aktifitas seperti biasa, istirahat yang cukup biar besok kita bisa kerja bakti dengan penuh kekuatan. Wabil taufik wal hidayah wasalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.”

“Wa alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh” Jawab warga.

Keesokan harinya, pagi pagi sekali saat matahari baru muncul dari ufuk timur, warga yang kebanyakan pemuda kampung curug sudah berkumpul di ’basecamp’ tempat nongkrong anak muda. Dia antara mereka sudah siap dengan membawa peralatan kebersihan, di antaranya sapu lidi, golok, celulit, gerobak sampah, skop, cangkul, dan lain-lain.

Kerja bakti dimulai dengan komando pak Ustadz Tu’in yang saat itu ikut terjun langsung ke lapangan.

“Kalau sudah kumpul semua, ayo kita mulai. Kita bagi tugas menjadi beberapa kelompok. Ada yang mengambil sampah-sampah berupa daun dan batang pohon yang ada di belakang, untuk di tebar di sekitar bangunan dan bagian dalam bangunan ini, sebagian lagi memindahkan barang barang yang ada di dalam bangunan ini seperti meja, kursi, dispenser, dan jangan lupa cabutin semua kabel dan lampu yang ada di sini. Semua peralatan untuk sementara simpan kantor RW, biar entar kembaliin lagi ke yang punya. Pokoknya kembaliin lagi kayak sebelumnya”

Setelah ada komando dari pak Ustadz Tu’in, para pemuda bergegas melaksanakan apa apa yang diperintahkan. Yanto dan Nimbul tak ketinggalan, mereka berdua kompak mengangkut sampah dedaunan yang ada di belakang basecamp untuk ditebar di sekitar bangunan.

“Gua heran, pan tempat bersih gini enak ya jauh dari penyakit, serba terang kalo malem jadinya orang lewat juga ngk aman-aman aja” Kata Yanto membuka percakapan dengan Nimbul.

“Kan kata Pak ustadz juga jin sukanya tempat tempat kotor, lembab, gelap. Lu mau kesurupan kayak si Jawir?” ucap Nimbul

“Ya ngk maulah Mbul, serem ah... ” kata jawir.

Kegiatan kerja bakti tidak berlangsung lama, sebelum Adzan Zuhur sudah selesai. Tempat yang sebelumnya bersih kini terlihat kotor, penuh sampah. Barang-barang seperti meja, kursi, dispenser, kabel-kabel beserta lampu-lampu sudah tak terlihat lagi.

Usai kerja bakti, pak Ustadz Tu’in mengajak pemuda istirahat makan di halaman mushola sambil menunggu waktu adzan zuhur. Ibu-ibu PKK dengan kompak menyiapkan makanan untuk mereka. Menu sambal, lalap, ikan asin dengan nasi putih menjadi santapan yang istimewa bagi para pemuda, mereka terlihat begitu senang saling bercanda.

Adzan Zuhur berkumandang, satu-persatu pemuda tersebut menuju tempat wudu, dilanjutkan mengikuti shalat Dzuhur berjamaah yang diimami oleh Ustadz Tu’in.

Setelah ‘Basecamp’ dirubah, kini tidak ada lagi keindahan di tempat tersebut, apalagi saat malam hari. Karena tak ada lampu penerangan maka siapapun yang lewat tempat tersebut pastilah agak sedikit ketakutan.

Namun dari segi positifnya. Para pemuda Kampung Curug kini tidak lagi membuang waktu percuma dengan menghabiskannya di tongkrongan dengan kegiatan yang tidak jelas. Kini mereka lebih banyak ‘nongkrong’ di masjid untuk mengikuti Ta’lim. Musholapun selalu penuh saat pelaksanaan ibadah shalat lima waktu. Dulu masjid dan Musholla hanya berisi bapak-bapak dan kakek-kakek tua, kini Shaf-shaf penuh dengan berdiri tegapnya pemuda-pemuda calon surga.

Organisasi kepemudaan kembali debentuk. Ikatan remaja mesjid kembali bergema. Hampir setiap kegiatan keagamaan mereka ikut terlibat seperti perayaan Maulid Nabi, perayaan Isra Mi’raj, dan lain-lain. Masjiid kembali makmur, masyarakat semakin religius.

Cerita Kejadian kesurupan masal yang pernah terjadi di Kampung Curug kini tidak terdengar lagi, bahkan sepertinya warga Kampung Curug sudah melupakan hal itu. Waktu mereka lebih banyak dipakai untuk beribadah seperti shalat berjamaah di masjid, mengaji, mengikuti majelis ta’lim dan acara-acara keagamaan lainnya.

Kampung Curug Kembali menjadi kampung yang damai, tenang, tenteram. Buah dari kesadaran segenap warga untuk kembali ke fitrahnya sebagai manusia untuk menyembah Allah Subhanahu wa taala, dengan mengerjakan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.